Merintih Sendiri Di Tengah Deru Kotamu

Merintih Sendiri Di Tengah Deru Kotamu

Merintih Sendiri Di Tengah Deru Kotamu
Sabtu, 11 Februari 2012
Berjalan di tengah keramaian lalu lalang manusia, melewati kotak demi kotak trotoar kota ini kembali mengingatkanku kepada seseorang. Ya….., sudah lama aku tidak pulang ke kampung halaman, tempat dimana aku memulai semuanya.

Terus menyusuri jalan kota ini dengan berjalan kaki sungguh mengingatkanku tentang masa SMA yang penuh cinta. Rindangnya pohon beringin ini selalu jadi tempat berteduh paling ampuh dari sengatan matahari siang itu.

“ Wah….., mang Dadang masih jualan es goyobod ya ? “

Sapaku pada seorang penjual es di belakang pohon beringin, yang tampak terlihat sudah menua, namun senyum khasnya yang ramah dan sopan selalu mengiringi mang Dadang dari dulu sampai sekarang, yang aku lihat.

“ iya….., ini dengan siapa ya ? "

" abah teh sudah lupa !"

Jawabnya dengan penuh penasaran mencoba mengingat – ingat memory masa lalunya yang tersimpan dalam pikiranya, terlihat dari raut wajahnya dia sangat yakin mengenal diriku, namun umur sudah mulai memakai semua ingatnya tentang diriku.

“ Denny mang ! “

jawabku mencoba membantu menyatukan puzle – puzle ingatan mang Dadang yang memang sudah bertaburan jauh, aku rasa wajar bila mang Dadang sudah sangat lupa dengan diriku, tak pernah terbayangkan aku kembali kesini untuk mencoba menyusun kembali puzle – puzle cintaku yang hilang 10 tahun yang lalu. Nayla gadis itulah yang membawaku kembali kesini bernostalgia tentang cinta kita.

“ Owh… Denny yang dulu suka kesini sama Neng Nayla ya ??? “

Tiba – tiba saja amnesia akut tentang diriku dalam memory mang Dadang kembali bergelora dan bergelombang seakan ingin kembali ke masa lalu dan menceritakan semua tentang waktu itu. Ya memang cuman Mang Dadang yang tahu hubunganku dengan Nayla gadis manis berbibir tipis dengan Jilbab neoitalis, setiap sabtu selepas pulang sekolah aku selalu mengajaknya untuk pergi ke sini, selama satu tahun hubungan yang kujalani hampir setiap sabtu aku selalu mengajak Nayla untuk datang kesini, sekedar untuk mengobrol sambil menikmati dinginnya es goyobod atau melepas kangen dengan menatap indah kedua bola matanya yang seakan memintaku untuk mencongkelnya.

“ Denny itu atuh es goyobodnya di minum entar keburu tidak enak “

seru mang Dadang yang dari tadi terus memperhatikanku dalam lamunan tentang Nayla.

“ Makasih mang, kok jadi ngerpotin gini sich ? “ jawabku lirih “ Ngelamun Neng Nayla ya ??? “
Tanpa sadar celetukan spontan itu keluar dari mulut mang Dadang, yang seakan mengerti jalan pikiran yang sedang aku rasakan saat ini, aku hanya terdiam sesaat mencoba memahami apa maksud dari perkataan mang Dadang itu.

“ ah mang Dadang bisa saja nieh, ngomong – ngomong kemana ya dia ? “
 
Tanyaku mencoba untuk berterus terang tentang perasaan yang sedang aku rasakan saat ini tentang Nayla, sudah beberapa bulan ini aku selalu mengingat anak itu terus, ingat cadanya, ingat manjanya, ingat marahnya semua terasa indah pikiranku tentang dia. Selama berapa bulan ini juga dia selalu bermain – main dalam pikiranku, menari – nari, berlari – lari menabrak dinding hati ini. Gadis itu memang luar biasa bagiku dia selalu tampak bahagia walaupun pada kenyataannya sendiri dia sedang sedih, dia selalu pintar untuk menyembunyikan kesedihan dibalik manis tawanya.

“ Denny, memang tidak tahu ya ? “

“ Tahu apa mang ? “

tanyaku dengan penuh penasaran, pikiranku tiba – tiba saja melayang memikirkan, melanglang buana jauh ke nirwana. Menakutkan hal yang aku percayai bahwa dia sudah menikah dengan orang lain dan kedatanganku kesini hanya sia – sia.

“ Dia sudah menikah ya ? “

sergahku dengan penuh penasaran yang dalam.

“ Belum kok Den ! “

“ Lalu ? “

rasa penasaran trus bergerumul dalam benak ini sebenarnya apa yang terjadi dengan Nayla.

“ Sebenarnya Nayla sudah meninggal Den, satu tahun yang lalu “

Tidak tahu kenapa tiba – tiba terjadi keheningan yang begitu dalam, seakan kesepian ini menyergapku dan semua yang berada disekitarku, terasa kekosongan yang begitu dalam dada ini. Tatapanku hanya terfokus pada gelas yang dari beberapa jam ini belum sempat kusentuh, kurasakan kembali nikmatnya es goyobod yang terasa begitu hambar dalam kulit lidahku, hanya dingin yang kurasakan dari semuanya.
 
“ Ternyata aku terlambat “
 
rintihku dalam hati, dalam kesendiriaan, dalam kota sebesar ini.
 
Mungkin beberapa bulan kamu selalu muncul dalam bayangan mimpiku, kamu ingin memberitahuku bahwa kamu sudah ga ada ya Nay.
 
Inalilahi
 
seruku dalam hati, butiran – butiran kecil yang tampak seperti kristal itu mulai berjatuhan tanpa arah keluar dari mataku, baru kali ini kurasakan kesedihan yang begitu amat sangat dalam hingga masuk, menusuk ke dalam palung hati ini.
 
Tidak pernah kusangka dan ku duga akan seperti ini yang terjadi dengan Nayla.
 
“ Mang, tahu ga Nayla dikebumikan dimana ? “

tanyaku
 
“ Tahu kok Den, mau dianter kesana ? “
 
“ Iya, Mang “
 
“ Ya sudah bentar ya Den, Mang Dadang tutup dulu “
 
Menelusuri jalan setapak penuh dengan rumput dan semak di sekitar jalan, seakan mencoba mengantarkanku menuju pembaringan terakhir Nayla, tak ada obrolan yang mengiringi perjalanan ini hanya keheningan yang terus menemani aku dan Mang Dadang.
 
Sampai juga akhirnya pada tempat dimana jasad terakhir Nayla disimpan, terlihat jelas di nisan itu satu nama yang tak pernah asing dalam benaku, Nayla Diningrat Binti Hadi Kusumo Diningrat, Lahir 14 Februari 1987 Meninggal 14 Nopember 2009.
 
Kupandang nisan bisu itu tanpa berkedip sedikitpun hanya terdiam lemah menerima kenyataan ini. Dia pergi membawa mimpi yang kurangkai indah diatas awan,
 
“ hanya do’a Nay yang aku bisa kasih untuk kamu saat ini semoga kamu tenang disana “
lirihku dalam hati yang kosong. Aku hanya bisa terdiam sampai saat dimana mang Dadang mengjaku pulang.
 
“ ayo Den pulang udah sore ” ajaknya.
 
Seakan ingin lebih lama disini mencari jawaban atas ini semua tapi waktu jua yang memisahkan kita. Selangkah demi selangkah aku menjauh dan meninggal dari tempat pertama aku berpijak terus semakin jauh semakin jauh dan semakin tak terlihat pula makan Nayla hanya tinggal pohon yang tumbuh besar yang akhirnya terlihat.
 
Sampai juga di ujung jalan besar tempat dimana aku akan berpisah dengan mang Dadang karena mamang rumah mang rumahku berbeda arah.
 
“ makasih yang mang Dadang sudah mau nganter Deny ! “
 
Kujabat tangan mang Dadang sambil saling menatap mata tuanya yang terlihat sedih dengan keadaanku.
 
“ iya Den, kamu yang sabar ya mungkin tuhan berkehendak lain untuk jalan hidup kamu, mungkin ini jalan yang paling terbaik yang tuhan kasih buat Deni “.
 
“ Iya, salam ya buat keluarga “
 
akhirnya kami membalikan diri untuk kembali kerumah masing – masing.
Dan akhirnya akupun kembali ke kota dimana sedugang aktifitas dengan kerjaanku menunggu di depan mata.
 
Dalam perjalanan pulang satu kalimatku untuk Nayla
 
“ kutitipkan masa lalu indah kita disini di kota ini, suatu saat aku akan datang kembali kesini mengenangnya”.

T A M A T
Open Comments
Close comment

2 komentar